Pemerintah disarankan mempertimbangkan kembali rencana penarikan sejumlah tata kelola pendidikan ke pusat, khususnya terkait dengan guru.
”Memang pengaturan guru perlu lebih baik. Akan tetapi, apakah harus diambil semua kewenangan atau tidak, itu yang harus dipertimbangkan secara matang,” kata anggota Komisi X DPR, Abdul Kadir Karding, kemarin.
Seperti diketahui, melalui revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah sepakat untuk menarik sejumlah tata kelola pendidikan yang selama ini menjadi kewenangan daerah.
Ke depan, tata kelola pendidikan akan menjadi urusan bersama antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, terdapat tiga hal yang akan menjadi kewenangan pemerintah pusat, yakni terkait dengan kurikulum, guru, dan standar mutu.
Dia berpendapat, tidak semua tata kelola terkait guru harus menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dia khawatir hal itu justru akan menambah kerja pusat, yang berujung pada tidak maksimalnya kinerja.
Karena itu, diperlukan regulasi yang kuat guna mengatur kewenangan tata kelola pendidikan. Apalagi internal pemerintah bersepakat bahwa pendidikan harus diatur secara bersama antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
”Mungkin tidak semua kewenangan pengaturan guru diatur pusat, karena pusat sudah terlalu overload,” katanya.
Sementara itu, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mendukung rencana pemerintah untuk mengambil alih tata kelola guru. Salah satu alasannya, karena guru kerap dijadikan sasaran politik lokal. ”Saat pilkada, guru rentan dijadikan objek politis,” imbuh sekjen FGII Iwan Hermawan.
Meski demikian, dia berpendapat tidak semua tata kelola guru menjadi tanggung jawab dan kewenangan pusat. Terkait dengan pembiayaan masih harus menjadi kewenangan daerah, karena alokasi pembiayaan guru sudah masuk dalam APBD.
Dampak Negatif
Rencana pemerintah mengubah tata kelola pendidikan dari kewenangan daerah menjadi kewenangan bersama pusat, membawa angin segar, khususnya tentang penarikan urusan guru. Pasalnya, pengelolaan bersama yang terpusat akan menjauhkan guru dari politisasi di daerah.
Pakar pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Bambang Br mengatakan, pengelolaan pendidikan yang terdesentralisasi selama ini menimbulkan dampak negatif.
”Desentralisasi tata kelola guru menyebabkan fungsi pendidik sebagai penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tereduksi. Bahkan, untuk sebagian malah hilang sama sekali. Padahal, dalam konteks ini guru semestinya seperti TNI, yakni menjadi urusan pusat,” katanya.
Menurut ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Profesi (LP3) Unnes itu, desentralisasi tata kelola guru terbukti telah menyebabkan lahirnya kembali idiom putra daerah secara keliru, terutama pada tahap perekrutan.
Akibatnya, anak-anak dari sebuah kabupaten hanya berkesempatan untuk diajar dan mengenal kebudayaan guru yang memiliki latar belakang yang sama atau sedaerah. Padahal, semestinya guru menjadi jembatan multikultural, jembatan antaretnis yang makin mengokohkan bangunan NKRI.
Dewasa ini di semua daerah, guru tak lepas dari kepentingan politik para kepala daerah. Guru ditarik-tarik untuk memberikan dukungan. Ini jelas tidak menguntungkan. Apalagi guru semestinya berada pada posisi netral. Namun, jika tidak, mereka akan terancam, baik dari sisi pembinaan, kesejahteraan, maupun karier.
Bambang menambahkan, seiring dengan rencana pemerintah melakukan sentralisasi, diharapkan ada pembenahan. Di samping itu, Dinas Pendidikan juga harus benar-benar diurusi oleh mereka yang benar-benar melek pendidikan atau berlatar belakang pendidikan.