Sejumlah pihak berharap rencana konvensi Ujian Nasional (UN) dapat membuahkan keputusan final dan mengikat. Dengan demikian, tidak terjadi lagi perdebatan berkepanjangan terkait dengan keberadaan UN. “Dari konvensi itu harus menghasilkan kesepatakan final yang secara konsekuen harus dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat,” kata Koordinator Divisi Monitoring Publik ICW, Febri Hendri, di Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, sampai kemarin pihaknya belum mendapat informasi tentang konsep konvensi tersebut. Padahal sebelumnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berjanji mengundang semua pihak dan para pemangku kepentingan pendidikan. Menurut Hendri, harus ada aturan main yang jelas, sehingga tidak terjadi adu argumen saat pelaksanaan konvensi. “Percuma saja kalau nantinya konvensi itu hanya dijadikan sebagai ajang adu argumen antara pihak yang pro dan kontra. Harus ada aturan main yang jelas,” tandasnya.
Sebelum menggelar konvensi, Kemdikbud akan melakukan tahap prakonvensi yang akan dilakukan di sejumlah daerah. Tujuannya untuk menjaring aspirasi dari tingkat bawah atau daerah. Harapannya, semua perwakilan yang hadir dalam konvensi memiliki pembahasan yang fokus.
Putusan MA
Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Iwan Hermawan mengatakan, pemerintah seharusnya taat pada putusan Mahkamah Agung (MA) terkait UN. Bahwa UN baru bisa dilaksanakan ketika pemerintah telah berhasil memenuhi standar pendidikan. “Amar putusan itu sudah final. Pemerintah harus memenuhi delapan standar pendidikan dulu sebelum melaksanakan ujian nasional,” ujarnya.
Pada saat rapat kerja dengan DPR, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan pihaknya tetap akan melaksanakan UN. Menurutnya, konvensi hanya untuk mencari sistem pelaksanaan UN yang terbaik. “Jadi, tema dari konvensi itu bukan untuk menghapus UN, tapi bagaimana menjadikan UN kredibel. Karena kalau tidak melaksanakan UN, kita melanggar aturan yang ada,” tuturnya.
Menanggapi hal itu, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan, apa yang direncanakan pemerintah hanya akal-akalan dan menghamburkan anggaran negara. “Ini menjadi pertanyaan, mengapa Mendikbud begitu ngotot mempertahankan UN,” tandasnya.
Pihaknya dengan tegas menolak sistem UN yang dijadikan penentu kelulusan siswa. Pasalnya, hal itu telah merampas kewenangan guru dalam memberikan penilaian terhadap siswa. “Ini sama saja menganggap guru dan sekolah tidak mampu melakukan evaluasi. Harusnya pemerintah meningkatkan kapasitas dan kemampuan guru,” ujar Retno.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Paat menyayangkan sikap pemerintah yang memutuskan untuk tetap melaksanakan UN. “Percuma saja ada konvensi kalau pemerintah sudah mengatakan tidak ada penghapusan UN,” ungkapnya.
Sumber: Suaramerdeka