Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan kurang efektif untuk pengembangan pendidikan di daerah.
Pasalnya, dana transfer daerah tersebut langsung masuk ke APBD sehingga penggunaannya kerap tidak sinkron dengan apa yang diprogramkan pemerintah pusat dan lepas dari pengawasan. Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golkar, Kahar Muzakir mengatakan, DAK merupakan bagian dari 20% APBN untuk pendidikan yang ditransferkan ke daerah. Ketika sudah masuk ke dalam APBD, penggunaannya sudah tidak bisa diawasi karena sudah menjadi kewenangan dan otoritas daerah.
“Karena DAK sudah masuk APBD, penggunaannya diatur oleh DPRD dan pemerintah daerah. Kalau seperti itu, apa ada jaminan yang disyaratkan dan diinginkan pusat cocok dengan keinginan mereka (daerah)?” kata dia saat rapat kerja dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Gedung DPR, baru-baru ini. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan harapan pemerintah pusat akan perkembangan pendidikan di daerah dari gelontoran DAK tersebut tidak tercapai.
Apalagi pemerintah pusat tidak memiliki tangan untuk mengawasi dan mengintervensi. “Jadi, wajar saja kalau selama ini tidak jalan karena tidak bisa diawasi dan tidak ada evaluasi,” imbuhnya.
Karena itu, Kahar mengusulkan agar DAK ditarik ke pusat masuk ke anggaran kementerian, tidak lagi menjadi dana transfer daerah. Dengan begitu, penggunaannya bisa dikontrol dan tidak terjadi tumpang tindih dengan program pengembangan pendidikan lain. “Itu artinya bisa benar-benar diawasi jika tidak jalan. Hal ini juga untuk membuat agar anggaran tersebut efektif dan akuntabel,” tegas Kahar.
Terhambat
Setiap tahun Kemdikbud menggelontorkan DAK ke daerah- daerah dan masuk ke APBD untuk membantu daerah mengembangkan sektor pendidikan. Pemerintah juga membuat petunjuk teknis (juknis) penggunaan DAK dengan harapan daerah dapat memanfaatkan dana tersebut sesuai dengan program yang ditentukan pusat. Namun pada pelaksanaannya, hal tersebut kerap terhambat kewenangan daerah dalam menggunakan APBD masing-masing.
Pada Tahun Anggaran 2014, Kemdikbud telah menganggarkan DAK sekitar Rp 10 triliun. Kriteria khusus penggunaan DAK di antaranya untuk buku kurikulum 2013, perbaikan ruang kelas rusak sedang dan berat, pembangunan ruang kelas baru, pengadaan ruang laboratorium, ruang praktik, dan perpustakaan, peralatan pendidikan, dan asrama siswa serta rumah guru untuk daerah khusus.
Anggota Komisi X dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Koster mengatakan, dari segi kebijakan, DAK Pendidikan bisa saja dihapus dan dimasukkan dalam anggaran kementerian sehingga pengalokasian anggaran terhadap program bisa lebih tepat dan konsisten. “Kelebihannya jika dipindah itu manajemen satu pintu, dikelola pemerintah.
Saat ini anggarannya dari APBN tapi tidak bisa diawasi. Jadi, manajemen penggunaan dan pengawasannya tidak nyambung,” ungkapnya. Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan terbuka untuk membahas perubahan postur alokasi anggaran tersebut. Akan tetapi, dia memastikan, apa yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur dan memiliki dasar hukum.
“Posisi pemerintah tetap mengusulkan Rp 10 triliun melalui mekanisme transfer daerah tapi DPR punya pandangan untuk dimasukkan dalam anggaran kementerian. Tapi karena itu sudah diputusakan dalam nota keuangan, saya tidak bisa sepihak, jadi harus dibahas di pemerintah,” jelasnya.