| http://informasigurusekolahdasar.blogspot.com/ | Menebar Manfaat Bersama Guru SD |
Puasa atau shiyam menurut arti bahasa bermakna: "menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu". Menurut arti istilah syara' yang dimaksud dengan puasa adalah:"menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri, mulai dari fajar hingga maghrib, karena mengharapakan ridha Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya, dengan jalan memperhatikan Allah dan dengan mendidik bermacam kehendak". (Kamal, 2003, h.133) Tak pelak lagi, puasa bukan suatu ketentuan baru yang ditemukan dalam sejarah umat manusia, tapi merupakan amalan ibadah yang diwariskan dan selalu dilakukan oleh manusia semenjak dahulu. Puasa sudah dikenal oleh kebanyakan umat dan agama. Al-Qur'an Al-Karim mensinyalir akan hal ini; "Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan pula atas orang-orang sebelum kamu"(Al-Qur'an, 2:183). Allamah Thabathaba'I berpendapat bahwa ayat ini tidak hanya ditetapkan bagi kelompok Ahli Kitab saja, tapi berlaku juga bagi selain Ahli Kitab.(lihat Tafsir Mizan, hal.5)
"Tiap-tiap amal anak Adam untuknya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan pembalasan padanya. Puasa itu Junnah (perisai), karena itu apabila seseorang diantara kalian sedang berpuasa, janganlah ia menurutkan kata-kata yang buruk, yang keji dan yang membangkitkan rangsangan syahwat, dan jangan pula ia mendatangkan hiruk pikuk." (hadist Nabi)
Puasa atau shiyam menurut arti bahasa bermakna: "menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu". Menurut arti istilah syara' yang dimaksud dengan puasa adalah:"menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri, mulai dari fajar hingga maghrib, karena mengharapakan ridha Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya, dengan jalan memperhatikan Allah dan dengan mendidik bermacam kehendak". (Kamal, 2003, h.133)
Tak pelak lagi, puasa bukan suatu ketentuan baru yang ditemukan dalam sejarah umat manusia, tapi merupakan amalan ibadah yang diwariskan dan selalu dilakukan oleh manusia semenjak dahulu. Puasa sudah dikenal oleh kebanyakan umat dan agama. Al-Qur'an Al-Karim mensinyalir akan hal ini; "Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan pula atas orang-orang sebelum kamu"(Al-Qur'an, 2:183). Allamah Thabathaba'I berpendapat bahwa ayat ini tidak hanya ditetapkan bagi kelompok Ahli Kitab saja, tapi berlaku juga bagi selain Ahli Kitab.(lihat Tafsir Mizan, hal.5)
Sejarah menceritakan kepada kita bahwa orang-orang Mesir kuno melakukan puasa sebagai penyembahan kepada Tuhan yang dinamakan Laysis. Orang-orang Yunani berpuasa sebagai penyembahan kepada Tuhan ladang yang dinamakan Demeter. Sedangkan orang-orang Roma sering melakukan puasa pada hari-hari tertentu sebagai penyembahan kepada Tuhan Lizfas, yaitu bintang Yupiter dan Tuhan Siyaris Demeter. Dan adapun orang-orang India sangat berlebihan dalam melakukan puasa, mereka sering berpuasa beberapa hari tanpa makan dan minum. Dengan maksud keridhaan Tuhan-Nya.(Musawa, 2003, h.19)
Para ahli tafsir berpandangan, puasa sudah ada semenjak umat-umat dan agama-agama terdahulu, baik dilakukan agama-agama bumi (ardhi) seperti Sha'ibah, Manawiyah, Brahma dan Budha maupun agama langit (samawi) yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Pada dasarnya, pemaknaan puasa tidak berbeda dengan yang ada sekarang ini, khususnya Islam, namun maksud dan prakteknya saja yang berbeda.
Puasa Agama Bumi (Ardhi): Sha'ibah, Manawiyah, Brahma dan Budha
Ibnu Nadim dalam kitabnya al-Fihrist mengatakan syariat agama Shai'bah yaitu agama yang berdiri atas penyucian bintang-bintang yang mewajibkan mereka berpuasa tiga puluh hari. Berpuasa tiga puluh hari sebagai penghormatan kepada bulan, berpuasa sembilan hari sebagai penghormatan kepada Tuhan Keberuntungan. Dan tujuh hari penghormatan bagi Tuhan Matahari. Ritual mereka adalah ungkapan atas pencegahan dari semua makanan dan minuman, dari semenjak terbit matahari hingga terbenamnya. Manawiyah, agama yang muncul di Iran abad ketiga Masehi, memiliki bermacam-macam puasa dan berkaitan dengan waktu-waktu berkala. Sebagai misal; apabila planet sagitarius turun dan bulan menjadi purnama, mereka berpuasa dua hari tanpa berbuka diantara keduanya; apabila muncul bulan sabit, berpuasa dua hari dan lain sebagainya. Puasa mereka sebagaimana puasa Sha'ibah. Sedangkan Brahma, yaitu agama yang dianut kebanyakan orang India bahwa syariat agama mewajibkan puasa atas kasta pendeta, yakni awal musim semi dan awal musim gugur. Dan pada hari pertama dan keempat belas setiap bulan, juga saat terjadinya gerhana matahari.
Berbeda dengan puasa yang dilakukan agama Budha yang mewajibkan puasa dari matahari terbit hingga terbenamnya pada empat hari setiap bulan yang dinamakan Alyubuzata; hari pertama, kesembilan, kelima belas dan kedua puluh dua. Seperti diwajibkan pula saat bersemedi dan diharamkan melakukan aktivitas sampai pada mempersiapkan makanan berbuka.(Abdul Wahid, h.34)
Puasa Agama Langit (Samawi) : Yahudi, Kristen dan Islam
Puasa pada agama Yahudi dan Nasrani sebenarnya tidak termaktub dalam kitab Taurat maupun Injil yang ada sekarang ini. Kedua kitab itu hanya memuji dan mengagungkan akan hal itu, akan tetapi mereka berpuasa beberapa hari dalam setahun dengan berbagai cara.
Kaum Yahudi berpuasa lima hari dalam setahun. Pertama, hari kedua puluh empat dari bulan ketujuh, yaitu termasuk perjanjian lama, yeng menceritakan bani Israil yang murtad dan tubuh mereka dilumuri dengan abu berkumpul untuk merayakan hari berpuasa. Kedua, hari kesembilan dari bulan keempat setiap tahun yaitu hari penguasaan Kildan atas Yerussalam. Ketiga, hari kesepuluh bulan kelima, yaitu hari pembakaran tempat peribadatan (Altar) dan kota. Keempat, hari ketiga bulan ketujuh, yaitu hari penodaan Nebokhadz Nashshara atas Yerusalem. Dan kelima, hari kesepuluh dari bulan kesepuluh, yaitu hari pengepungan Yerusalem.(Musawa, h.21)
Selain itu, mereka memiliki tradisi puasa sunah berkala. Puasa untuk mengenang wafatnya para nabi dan tokoh mereka seperti Musa, Harun dan para syahid atau memperingati peristiwa lain dalam sejarah mereka sehingga mencapai dua puluh lima hari. Menahan dari makan dan minum adalah puasa mereka.
Adapun Kaum Nasrani, terdapat perbedaan dalam kuantitas dan kualitasnya kedalam aliran yang beragam. Puasa kaum Katholik adalah ungkapan atas menahan makan dan minum sehari semalam. Seperti puasa hari Rabu untuk mengenang kekuasaan Al-Masih. Hari Jum'at, hari penyaliban Al-Masih. Kedua puasa tersebut termasuk puasa sunah bukan wajib. Sedangkan puasa yang dilakukan untuk Musa as dan Isa as serta kelompok Hawari adalah wajib. Pada abad kelima Masehi telah terjadi penambahan perintah puasa dengan dibangunnya gereja, yaitu puasa empat masa; puasa hari-hari terdahulu, 'Ansharah (yaitu hari dimasukannya ruh suci pada murid-muridnya pada hari Paskah, Pemindahan Siti Maryam dan puasa untuk orang-orang suci (Santo). Puasa Gereja Timur untuk Roma Ortodoks. Kelompok Arman, Iqbat dan Nasatharah berpuasa hari rabu, jum'at setiap minggunya, ditambah sepuluh hari setiap tahunnya. Aliran Protestan berpendapat bahwa puasa merupakan sunah yang baik, bukan kewajiban, mereka berpuasa menahan dari makan saja.
Sedangkan Islam, puasa sebagai lambang atau simbol kontrol diri yang diberikan Tuhan untuk manusia. Islam membagi puasa menjadi empat kategori; puasa wajib, puasa mustahab, puasa haram dan puasa makruh.(Musawa, h.89)
Pertama, puasa wajib meliputi puasa bulan Ramadhan, Qadha, Kafarat, Nazar dan lainnya. Kedua, puasa mustahab meliputi puasa yang ditentukan waktunya, puasa yang dengan sebab tertentu, dan puasa yang tidak ditentukan dengan zaman tertentu dan tidak dengan sebab-sebab tertentu. Puasa yang ditentukan waktunya semisal; puasa dahr(puasa tiga hari dalam sebulan), puasa hari-hari putih, puasa hari kelahiran nabi Muhammad saw dan sebagainya. Puasa mustahab yang dengan sebab-sebab tertentu dan puasa yang tidak ditentukan dengan sebab-sebab tertentu seperti puasa hari-hari dalam setahun, hari-hari tasyriq bagi yang berada di Mina di musim Haji. Ketiga, puasa haram, diantaranya puasa dua hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), puasa hari syakh, puasa tidak bicara, puasa sunah istri tanpa izin suami dan sebagainya. Dan keempat, Puasa Makruh, antara lain; puasa Muharram, puasa hari Arafah, puasa seorang tamu tanpa izin tuan rumahnya, puasa seorang anak tanpa izin orangtuanya.
Salah satu bentuk puasa yang mendapatkan porsi lebih dalam Islam adalah puasa bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan satu diantara kewajiban seorang muslim yang mesti dan mau tidak mau harus dilakukan, kecuali ada sebab lain yang tidak mengharuskan pelaksanaannya. Islam memandang puasa sebagai "universitas" pencetak manusia-manusia sempurna. Karena dalam prosesnya manusia dituntut untuk lebih mengenal dan memahami hakikat dirinya, hakikat sesamanya dan hakikat Pencipta-Nya. Pada akhirnya, manusia akan dapat dan mampu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan-nya dan meraih kemuliaan sebagai sosok yang berkualitas atau Insan kamil. Nabi Muhammad saw sebagai model insan kamil dalam Islam pernah bersabda akan keutamaan bulan ramadhan. Sebagian penggalannya; " Wahai Manusia, telah datang kepadamu bulan Allah yang penuh rahmat, berkah dan ampunan. Bulan paling utama di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Saat-saatnya adalah yang paling utama. Di bulan engkau diundang menjadi tamu Allah dan dimasukan kedalam kelompok orang-orang yang dimuliakan. Di bulan ini, napasmu adalah tashbih, tidurmu adalah ibadah, amalanmu diterima dan doa-doamu diijabah. Mohonlah kepada Allah, Tuhanmu, dengan niat yang tulus dan hati yang suci, agar Ia membimbingmu untuk berpuasa dan membaca kitab-Nya. Kenanglah dalam lapar dan hausmu di bulan ini kelaparan dan kehausan di Hari Kiamat kelak. Bersedekahlah kepada fakir miskin disekitarmu. Muliakanlah orang-orang yang lebih tua, dan sayangi yang lebih muda, sambungkan tali persaudaraan, peliharalah lidahmu, tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang tidak halal kau pandang dan pendengaranmu dari hal-hal yang tidak layak engkau dengar..
Dari paparan diatas, dapat kita pahami bahwasanya puasa dalam lintasan manusia dan agama merupakan sesuatu yang fitrah dan alamiah baik dalam pandangan agama-agama bumi maupun agama-agama samawi. Wallahu A'lam.[]
Penulis adalah mahasiswa S1, Fiqh dan Maarif Islam, Qum