Sekian tahun, dunia pendidikan kita pun telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum. Perubahan ini diharapkan mampu mengisi kompetensi-kompetensi yang masih kurang. Berdasarkan asumsi pemerintah, saat ini terjadi penurunan rasa nasionalisme di kalangan pelajar Indonesia. Karena itu, Kurikulum 2013 difokuskan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan pembentukan karakter para pelajar.
Kurikulum 2013 disiapkan untuk menghasilkan sebuah generasi penerus bangsa yang siap menghadapi persaingan globalisasi. Akankah kurikulum ini mampu menghasilkan penerus bangsa yang lebih baik? Apakah kurikulum 2013 mampu bertahan dalam menghadapi persaingan globaisasi
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi suatu tantangan bagi pemerintah untuk menjawabnya. Selain itu, guru sebagai pelaku utama dalam proses pembelajaran harus mampu mengembangkan diri secara kreatif dan profesional sehingga mempunyai strategi yang tepat dalam mewujudkan Kurikulum 2013.
Alokasi waktu pelajaran dalam kurikulum baru itu pun bertambah, namun akan terjadi pengurangan jumlah mata pelajaran. Diharapkan, hal itu memberikan tambahan waktu untuk memahami materi pelajaran secara mendalam. Sebagai bonusnya, siswa mempunyai banyak kesempatan untuk berkonsultasi dan sebagai hasilnya, guru mengetahui apa yang dibutuhkan oleh siswa.
Efek Negatif
Namun penambahan waktu pelajaran memiliki efek negatif bagi siswa. Penambahan dengan mengurangi jumlah mata pelajaran akan menyebabkan siswa cepat bosan. Ini akan memberikan dampak pada kesadaran siswa dalam belajar yang akan semakin menurun. Untuk SD misalnya, ada 10 mata pelajaran utama yang pada umumnya diberikan. Namun dalam Kurikulum 2013 dikurangi menjadi 6 mata pelajaran. Bahasa Inggris tidak lagi menjadi pelajaran wajib di sekolah dasar.
Pemerintah menerapkan Kurikulum 2013 sepaket dengan silabus dan buku. Kurikulum baru itu menuntut guru lebih kreatif, profesional, dan memiliki strategi dalam mengajar siswa. Namun bagaimana guru bisa lebih kreatif jika semua perangat belajar telah yang disiapkan oleh pemerintah? Ibaratnya, guru seperti berada di kandang. Mereka tidak bisa meningkatkan kemampuan untuk mengajar.
Mengingat guru berinteraksi secara langsung dengan siswa, merekalah yang tahu persis apa yang dibutuhkan para siswa. Karena itu, akan lebih baik jika guru diberi ruang untuk membuat silabus beserta segala perangkatnya berdasarkan kebutuhan siswa sebagai upaya menjawab setip kebutuhan siswa.
(60)—Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penerima Beasiswa Unggulan Ditjen Dikti.