Sumbangan atau iuran komite sekolah tidak boleh dipaksakan menjadi kewajiban bagi setiap siswa. Pasalnya sumbangan memang sifatnya tidak dipaksakan. Bagi yang tidak mampu tidak perlu.
Hal tersebut disampaikan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, saat membuka Seminar Pemberdayaan Komite Sekolah yang diikuti ratusan kepala sekolah dan komite sekolah se-Makassar, Sulawesi Selatan.
Ilham berharap semua hal yang terkait pendidikan berjalan lancar dan tak ada penyimpangan. Dia mengatakan, jika ada komite yang meminta sumbangan dan minta iuran kepada orang tua lantas dia tidak mampu mempertanggungjawabkan, maka dia mesti diproses di ranah hukum.
"Tiap tahun kan mereka diaudit. Di sinilah letaknya, saling kontrol antara mereka. Komite mengontrol sekolah, sebaliknya sekolah mengontrol komite dan orang tua mengontrol keduanya," kata Ilham seperti yang dilansir FAJAR (JPNN Group), Kamis (14/11).
Seminar pemberdayaan komite sekolah kemarin, dimoderatori Direktur PPs UNM, Prof Dr Jasruddin. Para pembicara adalah Kasat Bimas Polrestabes Makassar AKP Sumiati, Ketua Forum Komite Sekolah Makassar Bachtiar Adnan Kusuma, Kepala Ombudsman Kota Makassar Subhan, dan Guru Besar UNM Prof Dr Wasir Thalib.
Menurut Sumiati, jika ada yang sudah melampaui batas, maka polisi mau tidak mau harus masuk ke sekolah dan menangani jika ada tindak pidana. Karena ini bisa berdampak pada hal-hal yang tidak diinginkan.
"Kebetulan saya sudah membaca MoU Polri dengan PGRI bahwa apabila ada perselisihan di sekolah maka diselesaikan PGRI. Meskipun sudah ada MoU tidak berarti Kepolisian tidak boleh datang jika ada masalah. Polisi baru mengambil langkah apabila tidak ada lagi penyelesaian di sekolah," ujarnya.
Pada sesi tanya jawab sejumlah kepala sekolah dan anggota komite menyampaikan pandangan dan keluhannya. Jadilah suasana seminar seperti lokasi curhat. Ketua Komite SD Cenderawasih misalnya, berharap jika ada keluhan tentang sekolah disampaikan dulu kepada Komite. "Jangan langsung disebar ke media," pintanya.
Acha, Guru SMA Negeri 22, juga mengeluhkan makin minimnya guru honorer. Ini karena gaji mereka belum dibayarkan. Sudah banyak yang berhenti karena insentifnya tak pernah turun.
Kepala SD Mangkura 1, Syahrir Malle curhat tentang biaya LKS yang hanya dianggarkan Rp4 ribu per bulan per siswa. "Berarti hanya Rp24 ribu per semester. Sementara LKS selama 1 semester butuh Rp100 ribu. Jadi Rp76 ribu kita bisa dapat dari mana jika tidak ada konstribusi dari orang tua," tandasnya.
Ada juga orang tua siswa yang juga anggota komite sekolah meminta agar tidak perlu mencari penyakit ihwal LKS. "Kalau memang dana dari pemerintah tidak memadai, ya tidak usah ada LKS," katanya.
Kadis Pendidikan, Mahmud BM mengatakan, untuk SD dan SMP dana sudah memadai untuk BOS dan pendidikan gratis. "Saya tidak membatasi jika ada bantuan dari masyarakat dengan catatan itu ikhlas dan tanpa paksaan. Kemendiknas baru berani menyatakan wajib belajar 9 tahun bukan 12 tahun," katanya.
Sementara Prof Wasir Thalib menyebut, prinsip pengelolaan iuran komite diperlukan partisipasi dan transparansi yang baik. Wujud transparansi tersebut, kata dia, pasang papan pengumuman di depan kantor persis seperti masjid. Berikan label pada semua bentuk pengadaan.
"Jangan sampai ada alat atau barang yang dipertanggungjawabkan dua kali atau berulang-ulang. LPJ juga mesti terbuka untuk umum. Perlu juga efisiensi dengan perbandingan harga," sarannya.
Sebelum menutup seminar, Prof Jasruddin menyimpulkan, Komite Sekolah masih sangat dibutuhkan demi perbaikan sekolah. "Ombudsman bukan mencari-cari kesalahan tapi menindaklanjuti laporan masyarakat. Demikian juga kepolisian mereka bertindak berdasarkan laporan," katanya.
Apa pun yang dilakukan selayaknya dengan tujuan yang baik dan ikhlas. "Selama dilakukan demi kemajuan bangsa mari kita dukung dan bermitra dengan sebaik-baiknya," imbuh Prof Hasruddin.