KURIKULUM 2013 yang telah diluncurkan Mendikbud M Nuh, 15 Juli lalu, membawa beberapa konsekuensi penting. Di antaranya, tidak diperkenankannya sekolah-sekolah menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang selama ini menjadi ’’jantung’’ pembelajaran guru di kelas. Sebab, materi ajar dan tugas-tugas untuk siswa telah disiapkan dalam buku panduan yang dibuat oleh pemerintah.
Dengan kata lain, LKS tetap ada, tetapi telah disediakan langsung oleh pemerintah dalam satu paket buku. Meski sebagian kalangan menilai hal ini merupakan langkah maju, tetapi dalam hemat saya banyak menyisakan kegelisahan di kalangan guru. Banyak rekan-rekan pendidik yang berkesimpulan bahwa kurikulum baru dengan hadirnya buku-buku paket plus LKS akan meninabobokan guru. Mereka menjadi tidak kreatif, karena serba diatur, bahkan yang lebih ekstrem, kurikulum baru dituding akan memasung kreativitas guru.
Tetapi, lagi-lagi pemerintah bersikukuh bahwa buku paket Kurikulum 2013 tidak memasung guru, bahkan diharapkan menjadi standar minimal yang harus diajarkan oleh guru. Atau dengan kata lain, bagi sebagian guru, Kurikulum 2013 menjadi sangat berarti karena memudahkan mereka. Para pendidik tidak perlu susah payah mencari buku serta LKS yang cocok. Mereka hanya tinggal melaksanakan.
Seperti diungkap Wamendikbud, Musliar Kasim yang menilai LKS justru membuat para guru tidak kreatif dalam menjalankan proses belajar mengajar, khususnya dalam memberikan tugas. Guru hanya memberikan tugas kepada para peserta didik seperti yang tertera di dalam LKS.
Padahal dalam hemat saya, hal ini juga sama saja, sebab pemerintah menggantinya dengan buku panduan yang dibuat oleh pemerintah secara terpusat dan seragam, lantas para guru diminta untuk mengikutinya. Bukankah itu juga sama saja dengan ’’mengebiri’’ kreativitas guru di daerah-daerah?
Alasan lain, pemerintah sepertinya gerah terhadap banyaknya kasus buku dan LKS yang berkonten pornografi, seperti kasus di Bogor baru-baru ini. Pendapat Wamendikbud tersebut memang ada benarnya, tetapi tentu saja tidak bisa dipukul rata bahwa semua LKS jelek dan tidak mendidik. Sebab, dalam banyak kasus, LKS-LKS yang bermasalah sebagian besar diproduksi oleh penerbit, yang belum tentu ditulis oleh guru, sehingga isinya kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, banyak LKS yang ditulis oleh para guru yang terhimpun dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di tiap kabupaten.
Bagi MGMP, keuntungan berupa royalti dari hasil penjualan LKS tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan peningkatan profesionalisme guru, seperti pertemuan rutin, workshop, dan penerbitan buletin. Dengan demikian, LKS memberi andil pula dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru. Jika LKS dilarang, jelas hal ini akan memengaruhi program kerja MGMP karena sebagian besar pembiayaan kegiatan MGMP ditopang dari royalti penulisan LKS.
Terakhir, pelarangan LKS dan terbitnya buku panduan sebenarnya sekadar tambal sulam dan belum menyentuh jantung persoalan. Akan lebih baik jika pemerintah mendorong setiap guru untuk membuat modul mandiri atau LKS sendiri sesuai karakteristik siswa tiap-tiap daerah sehingga secara otomatis akan memacu kreativitas guru. (24)
—Mardiyanto SPd, guru SMP 2 Sukoharjo, Wonosobo dan penulis LKS Dinasti MGMP Bahasa Indonesia Kabupaten Wonosobo.